Kamis, Januari 12, 2012
Diposting oleh
Citra Quintiara Indah
di
1/12/2012 01:23:00 PM
Label:
Arsitektur von Neumann
0
komentar
Pada jaman modern saat ini, hampir semua komputer mengadopsi arsitektur yang dibuat oleh
John von Neumann (1903-1957). Kunci Kunci utama utama arsitektur arsitektur von Neumann von Neumann adalah adalah unit pemrosesan sentral (CPU) yang memungkinkan seluruh fungsi komputer untuk dikoordinasikan melalui satu sumber tunggal.
Pada dasarnya komputer arsitektur Von Neumann adalah terdiri dari
elemen sebagai berikut:
Prosesor, merupakan pusat dari kontrol dan pemrosesan instruksi pada
komputer.
Memori, digunakan untuk menyimpan informasi baik program maupun
data.
Perangkat input-output, berfungsi sebagai media yang menangkap
respon dari luar serta menyajikan informasi keluar sistem komputer.
Prosesor atau Central Processing Unit (CPU)
CPU merupakan tempat untuk melakukan pemrosesan instruksi-instruksi danpengendalian sistem komputer.
Perkembangan perangkat CPU mengikuti generasi dari sistem komputer.
Pada generasi pertama CPU terbuat dari rangkaian tabung vakum sehingga memiliki ukuran yang sangat besar.
Pada generasi kedua telah diciptakan transistor sehinga ukuran CPU menjadi lebih kecil dari sebelumnya.
Pada generasi ketiga CPU telah terbuat dari rangkaian IC sehingga ukurannya menjadi lebih kecil.
Pada generasi keempat telah diciptakan teknologi VLSI dan ULSI sehingga memungkinkan ribuan sampai jutaan transistor tersimpan dalam satu chip.
Pada arsitektur Von Neumann, program dan data dibagi pada ruang memori yang sama. Arsitektur Von Neumann menyediakan fitur penyimpanan dan modifikasi program secara mudah. Bagaimanapun, penyimpanan program tidak mungkin optimal dan membutuhkan berbagai berbagai pengumpulan program dan data untuk membentuk instruksi. Pengumpulan program dan data diselesaikan menggunakan time division multiplexing yang akan berpengaruh pada performa mikrokontroler itusendiri.
Salah satu contoh mikrokontroler yang menggunakan
arsitektur Von Neumann (princeton) adalah Motorola
68HC11.
Dengan mengandalkan koneksi yang lumayan cepat dari paket malam Telkomsel (rata-rata 100-an kBps hingga 200-an kBps), akhirnya saya berhasil merampungkan pengunduhan file .iso image-nya. Total ukuran file .isonya sekitar 1,2 GB. Lumayan besar juga. Sangat wajar, mengingat ia berupa Live DVD.
Saya pun kemudian mengeksplorasi Linux Mint Debian Edition 2011.09 ini melalui mesin virtual terlebih dahulu. Dalam hal ini, saya menggunakan VirtualBox OSE di Linux Ubuntu 11.04. Setelah merasa cukup mengeksplorasinya di mesin virtual, saya memutuskan untuk memasang/menginstalnya di ‘hard-disk’ laptop saya. Saya menggunakan media USB ‘flash-disk’ lewat bantuan aplikasi UNetbootin untuk membuat Live USB-nya. Semuanya berjalan lancar (tanpa masalah apa pun).
Tampilan menu instalasi cukup sederhana dan mudah dipahami. Semuanya sudah berbasis grafis (GUI). Proses instalasi pun berjalan mulus dan sangat cepat. Saya sengaja mencatat waktunya. Hasilnya, cuma memakan waktu 5 menit! Wow, terbilang sangat cepat jika dibandingkan dengan proses instalasi Ubuntu. Apalagi ini adalah versi Live DVD (yang tentu saja mengandung lebih banyak paket).
Apa saja fitur Linux Mint Debian Edition (LMDE) 2011.09 ini?
* Semua fitur Linux Mint 11;
* Perbaikan installer (varian keyboard, lokal, perbaikan bug, UUID di fstab);
* Pembaruan repositori Update Manager berdedikasi dan bertahap;
* Kompatibilitas tema GTK2/GTK3; dan
* Pembaruan perangkat lunak serta paket-paket.
Dengan sistem pendistribusian ‘Rolling-Release’, Linux Mint Debian Edition (LMDE) 2011.09 ini juga dirancang agar dapat berjalan pada komputer-komputer tua/lawas (yang hanya memiliki satu core atau satu CPU). Default kernel yang disertakan dalam paketnya yaitu berupa kernel 486.
Di satu sisi, kernel 486 ini sangat ramah pada komputer tua/jadul. Namun di sisi lain, kernel ini kurang bersahabat bagi komputer modern karena tidak mampu mendeteksi CPU yang memiliki inti lebih dari satu. Jadi, jika kita menginstal dan menjalankan Linux Mint 2011.09 ini pada komputer yang (misalnya) memiliki 2 core CPU, seperti laptop saya yang bertipe Core 2 Duo, maka kernel 486 bawaan Mint Debian ini hanya mendeteksi satu inti/core. Buktinya bisa dilihat pada tampilan aplikasi ‘System Monitor’ berikut ini.
Solusi masalah di atas yaitu dengan cara menginstal kernel 686-PAE. Mudah-mudahan nanti bisa saya bahas tipsnya.
Tampilan menu utama
Berbasiskan dekstop Gnome dan terletak pada sudut kiri bawah, tampilan menu utama Linux Mint Debian Edition 2011.09 cukup simpel dan mudah dipahami. Sisi aksesibilitas dan ‘usability’ sudah cukup terpenuhi. Tampilan menu utama ini sedikit dimodifikasi sehingga terlihat agak berbeda dengan model dekstop Gnome klasik. Ia tersusun dari 3 kolom utama.
Selanjutnya, mari kita telusuri satu per satu kategori utama aplikasi yang ada pada sub menu ‘All applications’. Mulai dari kategori ‘Accessories’.
Oya, aplikasi ‘Shutter’ yang terdapat pada list di atas sebenarnya bukan default/bawaanLMDE 201109 ini, melainkan saya instal sendiri.
Lanjut ke kategori ‘Graphics’.
Lalu kategori ‘Internet’.
Kemudian kategori ‘Office’.
Berlanjut ke kategori ‘Sound & Video’.
Lanjut lagi ke kategori ‘System Tools’.
Kemudian ke kategori ‘Administration’.
Dan akhirnya ke kategori ‘Preferences’.
Anda kurang suka dengan tampilan default menu utama di atas? Tidak masalah. Anda bisa mengkustomisasinya dengan tema-tema lain yang telah disediakan. Cukup lakukan klik kanan pada icon menu utamanya yang berupa gerigi, lalu klik/plih ‘Preferences’ dan ‘Theme’. Kemudian Anda tinggal memilih berbagai tema yang disediakan pada menu dropdown-listnya.
Pengelolaan Aplikasi
Untuk mengelola aplikasi/software, kita bisa melakukannya melalui ‘Software Manager’ dan ‘Synaptic Package Manager’. Software Manager bisa diibaratkan sebagai gudang aplikasi siap install untuk pengguna Linux Mint Debian ini.
Mari kita lihat beberapa kategori utama softwarenya. Mulai dari kategori ‘Internet’.
Lanjut ke ‘Sound and Video’.
Lalu ‘Graphics’
Kemudian ‘Font’.
Dan ‘Games’.
Saya rasa cukup 5 kategori saja yang saya tampilkan screenshotnya.
Utilitas lain untuk mengelola paket-paket aplikasi yaitu ‘Synaptic Package Manager’. Tampilannya tak jauh berbeda dengan utilitas serupa di Linux Ubuntu.
Utilitas ini lebih ditujukan untuk pengguna yang sudah agak ‘advanced’. Untuk pemula, lebih enak menggunakan ‘Software Manager’ saja, walaupun daftar paket aplikasinya tidak selengkap yang terdapat pada ‘Synaptic Package Manager’.
Untuk memperbarui paket-paket aplikasi, software, serta sistem keamanan, kita bisa melakukannya melalui utilitas ‘Update Manager’. Cara menggunakannya sangat mudah. Tinggal mengklik icon menunya, maka paket-paket akan diperbarui secara otomatis. Lalu kita tinggal mengklik menu untuk menginstall semua paket aplikasi yang telah diperbarui.
Utilitas/menu ini bisa kita temukan pada panel bawah, tepatnya di sisi kanan (berupa icon kecil seperti perisai/tameng).
Kustomisasi Tema, Jendela, dan Icon
Cukup membuka menu utama, lalu memilih kategori ‘Preferences’ > ‘Appearance’. Maka akan terbuka sebuah jendela untuk melakukan pengaturan tampilan atau tema. Tersedia 16 tema default yang siap kita pilih sesuai selera.
Jika ingin melakukan kustomisasi lebih lanjut, kita tinggal mengklik tombol . Maka akan terbuka jendela baru seperti berikut ini.
Beberapa kekurangan Linux Mint Debian Edition 201109
Setelah mencobanya selama hampir seminggu (sampai saat postingan ini saya publish), ada sejumlah kekurangan yang saya temukan pada Linux Mint edisi Debian 2011.09 ini. Di antaranya:
- Pengkategorian software menjadi sub-sub kategori pada kategori-kategori utama di menu ‘Software Manager’ masih kurang lengkap. Selain kategori Internet, Grafis, dan Games, saya lihat kategori software lainnya tidak dipecah-pecah menjadi sub kategori. Padahal beberapa kategori (seperti Sound & Video, Programming, Systems Tools, Accessories, Fonts, dan Science & Education) bisa dipecah-pecah lagi ke dalam sub kategori. Hal ini demi mempermudah pengguna dalam memilah sub-sub kategori software yang akan ia cari. Untuk poin ini, saya melihat ‘Ubuntu Software Center’ milik Linux Ubuntu masih jauh lebih baik.
- Untuk kelengkapan software, menu ‘Software Manager’ masih belum mengandung beberapa aplikasi yang saya butuhkan. Misalnya saja Netbeans IDE (untuk membangun aplikasi berbasis Java) dan Quanta Plus (untuk pemrograman website). Padahal kedua aplikasi tersebut sudah ada pada ‘Ubuntu Software Center’ di Linux Ubuntu. Lagi-lagi dalam hal ini Ubuntu lebih baik. Plus lebih lengkap juga aplikasi-aplikasi yang disediakannya. Toh, Ubuntu juga sama-sama turunan Debian. Tapi mengapa dalam hal ini Ubuntu lebih lengkap dalam menyediakan repositori aplikasi-aplikasinya?
- Delay atau jeda waktu usai mengklik kategori, sub kategori, maupun nama aplikasi-aplikasi di menu ‘Software Manager’ agak lama. Dalam arti, akses ke sub-sub menunya memerlukan delay. Begitu pula usai mengetikkan keyword atau kata kunci nama aplikasi yang hendak dicari via kotak pencarian. Ada delay beberapa saat. Tak secepat pengaksesan sub-sub menu maupun kemunculan hasil pencarian di ‘Ubuntu Software Center’. Lagi-lagi dalam hal ini Ubuntu lebih baik.
- Usai proses instalasi software/aplikasi pada ‘Software Manager’, keterangan ‘Not installed’ tidak langsung berubah menjadi ‘Installed’, kecuali setelah kita mengklik induk kategorinya dan mengklik nama aplikasi tersebut kembali. Begitu pula tombol yang tidak langsung berubah menjadi . Hal ini mungkin akan membingungkan pengguna pemula. Bisa jadi ia akan mengira bahwa proses instalasi softwarenya belum tuntas atau gagal, padahal sudah berhasil. Pada poin ini, lagi-lagi ‘Ubuntu Software Center’-nya Ubuntu masih jauh lebih baik (karena lebih responsif).
- Kernel default (bawaan) yang berupa kernel 468 kurang bersahabat dengan komputer-komputer modern yang umumnya sudah memiliki core CPU lebih dari satu. Walaupun hal ini bisa disiasati dengan menginstal kernel 686-PAE, ia memerlukan pengetahuan dan pemahaman khusus (dalam proses instalasinya). Jadi tidak bisa sembarangan dan juga tidak bisa dibilang praktis. Namun saya sendiri sudah berhasil menginstal kernel 686-PAE tersebut. Nanti akan saya posting triknya.
- Default ‘web browser’ (peramban web) yang disediakan agak ketinggalan zaman menurut saya, yaitu Firefox versi 5.0. Begitu pula versi Chromium (13.0.782.127) dan Opera (10.62). Padahal saat rilis resmi Linux Mint Debian Edition ini (16 September 2011 lalu), versi beberapa browser ternama sudah mengalami perkembangan. Sayangnya, saya tidak menemukan cara untuk memperbarui versi browser-browser yang terdapat pada repositoriLMDE 2011.09 ini. Mungkin hal ini ada hubungannya dengan sistem ‘Rolling-Release’ yang diterapkan pada pendistribusian LMDE ini. Jadi, pihak pengembang lebih memilih versi peramban web (‘web browser’) yang dianggap lebih stabil.
- Eksekusi navigasi menu atau tautan melalui ‘Touchpad’ (pada laptop saya) sempat tidak berfungsi. Terutama untuk menggantikan ‘single-clicks’ & ‘double-clicks’ ketika menggunakan mouse/tetikus. Jadi hanya bisa digeser-geser (tanpa bisa mengklik melaluinya). Ternyata untuk mengaktifkannya harus melalui menu ‘Preferences’ > ‘Mouse’ > ‘Touchpad’ dan lalu mencentang opsi Enable mouse clicks with touchpad. Hmm, kenapa tidak tersetting otomatis dicentang ya? Saya pikir ini cukup merepotkan dan membingungkan pengguna pemula yang terbiasa menggunakan ‘touchpad’ untuk menavigasi.
- Sub menu pada aplikasi ‘Shutter’ yang sudah saya instal ternyata tidak aktif, padahal ia sangat penting bagi saya untuk mengedit hasil tangkapan layar (‘screenshot’). Ternyata untuk mengaktifkannya harus dengan cara menginstal library/module tertentu. Sialnya, library tersebut tidak tersedia di ‘Software Manager’. Satu-satunya jalan yaitu dengan menginstalnya melalui terminal.
Kesimpulan
Linux Mint Debian Edition 2011.09 ini kurang cocok untuk pengguna pemula. Sebagian penyebabnya ada pada poin kekurangan yang telah saya paparkan di atas, terutama masalah kernel bawaan dan trik menyiasatinya. Selain itu, masalah keharusan mengubah beberapa repositori sebelum mengunduh ‘Update Pack 3′ juga agak menyulitkan pengguna pemula. Di sisi lain, pengguna yang sudah cukup memahami Linux relatif tidak ada masalah sebenarnya.
Bagi saya sendiri, Linux Mint Debian Edition 2011.09 ini menjadi salah satu sistem operasi alternatif yang belakangan ini lebih sering saya gunakan. Tidak ada masalah sama sekali begitu ia saya install di laptop saya yang sudah terlebih dahulu terdapat 2 sistem opreasi lain, yaitu Windows XP dan Linux Ubuntu. ‘Boot loader’ bawaan LMDE ini berjalan mulus (dengan isi list berupa semua OS yang terinstall pada laptop saya).
Untuk memainkan file-file MP3 maupun video juga tidak membutuhkan ‘codec’ multimedia lagi, sebab ia sudah termasuk dalam paket instalasi. Enaknya, aplikasi GIMP juga sudah ‘built-in’. Begitu pula ‘Pidgin’ (untuk chatting), ‘Bittorent Transmissons’ (untuk mengunduh file torrent), dan bahkan ‘VLC media player’ (untuk memutar berbagai jenis format video).
Referensi terkait, silakan telusuri 2 tautan berikut ini:
Tips ini khusus untuk pengguna komputer yang chipset VGA-nya berjenis SiS dan kebetulan digunakan untuk menjalankan sistem operasi Linux, terutama distro Ubuntu, Linux Mint, Zorin OS, dan keluarga Debian lainnya. Selain masalah resolusi layar yang belum tentu sesuai aslinya usai menginstal Linux, pengguna VGA SiS ternyata masih menghadapi satu masalah yang mungkin cukup menjengkelkan, yaitu tidak bisa memutar video secara sempurna.
Biasanya yang umum terjadi yaitu sistem akan log-out secara otomatis begitu pengguna mulai memutar video menggunakan aplikasi ‘video player’ (misalnya Totem Movie Player,Gnome Mplayer, VLC Media Player, dan SMPlayer). Umumnya ini terjadi pada Ubuntu 11.04 dan 11.10 (termasuk distro yang berbasis pada keduanya).
Nah, jika dihadapkan pada kondisi demikian, sebenarnya Anda bisa mengatasinya dengan mudah. Cukup melakukan sedikit perubahan setting pada ‘type video output’ maupun ‘audio output’ di salah satu menu aplikasi pemutar videonya. Caranya yaitu:
Jika Menggunakan Totem Movie Player
‘Totem Movie Player’ adalah aplikasi default pemutar video pada Ubuntu dan juga Linux Mint. Aplikasi video player ini menggunakan plugin Gstreamer sebagai ‘codec’-nya. Jika Anda sudah menginstalnya pada Ubuntu dan kebetulan VGA komputer yang Anda gunakan berjenis SiS, kemungkinan besar Anda masih akan menghadapi masalah (yaitu akan mengalami ‘logout’ ketika membuka video menggunakan aplikasi ini).
Solusi ampuhnya:
- Buka Terminal (Ctrl+Alt+T), lalu ketikkan sebaris perintah berikut ini dan diikuti menekan tombol Enter.
gstreamer-properties
Gunanya yaitu untuk membuka jendela menu ‘properties’ pada plugin gstreamer. - Nah, beberapa detik usai Anda mengeksekusi perintah di atas, akan terbuka/muncul sebuah jendela baru untuk pengaturan properties gstreamer-nya. Atur/setting-lah pada sub menu Video-nya, tepatnya pada bagian ‘Default Output’ pluginnya menjadi X Window System (No Xv). Seperti gambar di bawah ini.
- Lalu klik tombol dan tutuplah Terminalnya. Setelah itu, Anda bisa mengetes keberhasilan trik ini dengan cara membuka video melalui aplikasi ‘Totem Movie Player’. Mudah-mudahan tidak akan terjadi ‘logout’ lagi.
Jika Menggunakan Gnome Mplayer
Aplikasi pemutar video ini sudah ‘built-in’ pada Linux Mint, namun tidak/belum terinstal secara ‘default’ pada Ubuntu. Jika Anda lebih suka menggunakan aplikasi ini dan mengalami masalah berupa ‘log-out’ atau ‘restart’ otomatis ketika membuka video melaluinya, solusinya cukup mudah, yaitu:
- Coba buka aplikasi ‘Gnome Mplayer’ ini. Jangan buka melalui klik kanan pada file video atau audio. Jadi harus Anda buka secara langsung melalui ‘start-menu’ aplikasi.
- Lalu buka/klik sub menu Edit > Preferences pada bar menu-nya.
- Atur atau setting-lah bagian ‘Video Ouput’ dan ‘Audio Output’-nya menjadi seperti yang terlihat pada screenshot berikut.Untuk mengubah/menyettingnya, cukup klik ‘dropdown-list’ menu-nya. Jadi, ‘Video Output’-nya harus Anda ubah menjadi X11, sedangkan untuk ‘Audio Output’-nya boleh Anda pilih antara ALSA dan Pulseaudio. Saya lebih menyarankan memilih ALSA saja. Namun jika audio yang keluar terdengar bermasalah atau malah tidak terdengar sama sekali, coba pilih Pulseaudio untuk ‘Audio Output’-nya.
- Setelah itu, klik tombol dan coba tes hasilnya dengan memutar video menggunakan Gnome Mplayer ini. Semoga tidak terjadi ‘log-out’ lagi.
Jika menggunakan VLC Media Player
‘VLC Media Player’ ini sudah terinstal secara ‘default’ pada Linux Mint dan Zorin OS. Sedangkan pada Ubuntu belum ada. Namun tak menutup kemungkinan sebagian pengguna Ubuntu menginstal aplikasi pemutar video yang sangat populer ini. Nah, jika chipset VGA yang digunakan adalah SiS, biasanya masalah ‘log-out’ otomatis juga terjadi ketika pengguna membuka video melalui aplikasi VLC ini.
Solusinya:
- Buka aplikasi ‘VLC Media Player’ secara langsung melalui ‘start-menu’.
- Klik sub menu Tools > Preferences (pada bar menu-nya).
- Klik sub menu ‘Audio’ dan pilihlah ‘ALSA audio output’ pada output-nya (boleh juga pilih Pulseaudio jika mengalami masalah pada sound video yang diputar nantinya).
- Klik sub menu ‘Video’, lalu pilih ‘X11 video output’ pada tipe output-nya.
- Klik tombol untuk menyimpan hasil pengaturan baru tersebut.
- Tutup kembali jendela aplikasi VLC yang sudah Anda setting ulang tersebut. Lalu coba buka salah satu video melaluinya (dengan opsi klik kanan di file video yang ingin Anda putar). Mudah-mudahan tidak mengalami ‘log-out’ lagi.
Jika Menggunakan SMPlayer
Solusinya sama saja dengan pengaturan menu Audio Output & Video Output pada Gnome MPLayer dan VLC di atas. Intinya, setting-lah tipe ‘video output’-nya dengan opsi X11. Itu yang paling penting. Caranya melalui sub menu Options > Preferences (di bar menunya).
Selamat mencoba dan semoga berhasil. Semua tips di atas sukses saya ujicobakan pada laptop pribadi saya yang menggunakan VGA card SiS.
Langganan:
Postingan (Atom)